Sabtu, 25 Februari 2017

BAB II TINJAUAN PUSTAKA TUNAGRAHITA



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    Pembelajaran Matematika

1.      Pengertian Pembelajaran Matematika

Pembelajaran matematika merupakan salah satu bagian yang penting dalam kurikulum pendidikan. Pembelajaran Matematika terdiri dari dua kata yaitu pembelajaran dan matematika yang masing-masing memiliki pengertian sendiri. Oleh karena itu, sebelum membahas tentang pembelajaran matematika, terlebih dahulu kita ketahui pengertian dari masing-masing kata.
a.       Pengertian Pembelajaran
Pembelajaran berasal dari kata “intruction” yang berarti “pengajaran”. Pembelajaran atau pengajaran pada dasarnya merupakan kegiatan guru  atau dosen menciptakan situasi agar siswa belajar.[1] Dalam interaksi tersebut banyak sekali faktor yang mempengaruhinya, baik faktor internal yang datang dari dalam diri individu, maupun faktor eksternal yang datang dari lingkungan.
Menurut Oemar Hamalik, “Pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan dan prosedur yang saling mempengaruhi mencapai tujuan pembelajaran.”[2]
Didalam konsep islam secara luas dijelaskan pentingnya pembelajaran bagi seorang dalam menjalani kehidupan, seperti dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat Al-Mujadillah ayat 11 sebagai berikut
Artinya :
      Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatkan kepadamu: “Berlapangan-;lapanglah dalam majlis”. Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan “Berdirilah kamu”. Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.[3]

      Dari penjelasan ayat diatas, sudah jelas dikatakan bahwa Allah akan meninggikan derajat bagi setiap orang yang beriman serta orang yang berilmu. Dengan demikian diwajibkan bagi orang-orang yang beriman untuk mencari ilmu pengetahuan.
      Dengan demikian, pembelajaran didefinisikan sebagai pengorganisasian atau pencipta atau pengaturan suatu kondisi lingkungan yang sebaik-baiknya yang memungkinkan terjadinya peristiwa belajar pada siswa. Pembelajaran adalah proses aktif siswa untuk mempelajari dan memahami konsep yang dikembangkan dalam kegiatan belajar mengajar.
b.      Pembelajaran Matematika

Menurut kamus besar bahasa indonesia, “Matematikan diartikan sebagai ilmu yang mempelari bilangan-bilangan dengan cara menyelesaikan masalah mengenai bilangan”.[4] Senada dengan hal tersebut menyatakan bahwa matematika merupakan suatu sistem yang rumit tetapi tersusun sangat baik yang mempunyai banyak cabang[5] . Matematika merupakan suatu bahan kajian yang memiliki objek abstrak dan dan dibangun melalui proses deduktif yaitu kebenarn suatu konsep yang diperoleh sebagai akibat logis dan kebenaran sebelumnya sudah diteima, sehingga keterikatan antara konsep dalam matematika bersifat sangat kuat dan jelas.
Namun demikian pembelajaran dan pemahaman konsep dapat diawali secara induktif melalui pengalaman peristiwa nyata atau intuisi. Proses induktif deduktif dapat digunakan untuk mempelajari konsep matematika. Pembelajaran dapat dimulai dengan beberapa contoh atau fakta yang teramati, membuat daftar sifat yang muncul sebagai gejala, memperkirakan hasil baru yang diharapkan, yang kemudian dibuktikan secara deduktif. Penerapan cara kerja matematika yang seperti ini diharapkan dapat membentuk sikap kritis, kreatif, jujur, dan komunikatif pada peserta didik.
Sedangkan menurut kamus besar bahasa Indonesia, “Pembelajaran adalah proses, cara, perbuatan menjadikan orang atau makhluk hidup belajar”.[6] Dalam proses pembelajaran, situasi dan suasana yang kondusif harus dikembangkan sedemikian rupa sehingga peserta didik dapat belajar dengan nyaman dan senang. Guru harus mampu menyampaikan materi matematika dengan menggunakan metode pembelajaran dan media pembelajaran yang sesuai, agar peseta didik mudah menerima materi itu sendiri. Pembelajaran merupakan suatu proses yang kompleks dan melibatkan berbagai aspek yang saling berkaitan. Oleh karena itu, untuk menciptakan pembelajaran yang kreatif dan meyenangkan diperlukan berbagai ketrampilan diantaranya adalah keterampilan membelajarkan atau keterampilan mengajar.
Pembelajaran matematika adalah siasat atau kiat yang sengaja direncanakan oleh guru, berkenaan dengan segala persiapan pembelajaran agar pelaksanaan pembelajaran berjalan dengan lancar dan tujuannya yang berupa hasil belajar bisa tercapai secara optimal.[7] Menurut Brunner sebagaimana dikutip oleh Heruman dalam bukunya Model Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar mengatakan bahwa dalam pembelajaran matematika, peserta didik harus menemukan sendiri berbagai pengetahuan yang diperlukannya.[8] Dalam pembelajaran ini, guru lebih banyak berperan sebagai pembimbing dibanding pemberi tahu.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika merupakan usaha yang disengaja yang melibatkan interaksi antara guru dan peserta didik serta menggunakan kemampuan pedagogik guru untuk mencapai tujuan proses belajar mengajar. Agar tujuan pembelajaran bisa tercapai, maka perlu diperhatikan segala sesuatu yang mendukung keberhasilan pembelajaran itu. Dari sekian faktor penunjang keberhasilan pembelajaran dalam proses belajar mengajar, proses berpikir anak berkebutuhan khusus (ABK) tunagrahita merupakan salah satu faktor internal yang mempengaruhi dalam proses pembelajaran, yang merupakan faktor dominan tercapainya tujuan pendidikan.

2.      Tujuan Pembelajaran Matematika bagi Tunagrahita

Secara umum tujuan pembelajaran matematika menurut Sri Subarinah adalah untuk membekali peserta didik atau siswa dengan kemampuan berfikir logis, analitis, sistematis, kritis dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Menurut Antonius Cahya Prihandoko belajar dengan matematika sebagai alat untuk latihan bernalar secara benar, alat untuk memecahkan masalah, alat untuk mengekspresikan gagasan-gagasan dan memungkinkan seseorang terlatih untuk berpikir secara kritis dan kreatif. Menurut Mumpuniarti pembelajaran matematika penting diberikan kepada siswa tunagrahita dengan tujuan agar siswa tunagrahita mampu menggunakan konsep matematika untuk pemecahan masalah, penggunaan untuk situasi sehari-hari dan keterampilan menghitung.
Pelajaran matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang tercantum dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Kurikulum yang dirancang bagi tunagrahita dikhususkan pada lembaga SLB . Mata pelajaran matematika dalam kurikulum tersebut bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan:
a.       Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes,akurat, efisien dan tepat dalam pemecehan masalah.
b.      Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
c.       Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.
d.      Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram atau media lain untuk memperjelas keadaan dan masalah.
e.       Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.[9]

3.      Materi Pembelajaran Matematika Siswa Tunagrahita

Materi pembelajaran matematika bagi siswa tunagrahita menurut Mumpuniarti diutamakan dalam keterampilan hitung.[10] Lebih lanjut dijelaskan pembelajaran pada bidang tersebut meliputi: keterampilan pra hitung, kemampuan menambah, mengurangi, mengalikan dan membagi. Keterampilan menghitung bagi siswa tunagrahita dengan usia mental 8 tahun antara lain
1.      Menghitung Pokok (cardinal), pada usia 8 tahun mencapai angka 10 sampai 1000.
2.      Pengangkaan
a.       Kata angka pada usia 8 tahun mencapai angka sepuluh sampai seratus.
b.      Angka hindu arab pada usia 8 tahun mencapai 100 - 1000
c.       Nilai tempat pada usia 8 tahun mencapai ratusan.
3.      Pemecahan masalah, pada usia 8 tahun mencapai pemecahan masalah uang seribu ditambah lima ratus rupiah dan memecahkan masalah mengurang uang seribu dikurang lima ratus.
Berdasarkan kurikulum SLB  yang telah ditetapkan, materi pembelajaran matematika bagi siswa tunagrahita meliputi bidang bilangan, geometri dan pengukuran serta mata uang. Sementara itu materi pembelajaran matematika bagi siswa tunagrahita berdasarkan standar kompetensi yang terdapat pada kurikulum SLB  kelas dasar III mengenai bilangan yaitu melakukan perhitungan sampai seratus. Kompetensi dasar yang ditetapkan antara lain melakukan penjumlahan ke samping 2 angka dan melakukan penjumlahan bersusun ke bawah dengan teknik 2 kali menyimpan. Indikator yang ditetapkan antara lain melakukan penjumlahkan  secara bersusun  tanpa menyimpan dibawah angka 100, Melakukan penjumlahan secara bersusun menyimpan dibawah angka 100, Melakukan penjumlahkan kesamping dengan  sampai 100.

Dengan demikian siswa tunagrahita kelas dasar tiga diberikan materi pembelajaran operasi hitung penjumlahan yang hasilnya mencapai nilai ratusan dengan teknik menghitung ke samping dan bersusun ke bawah.






4.   Kemampuan Operasi Hitung Penjumlahan dalam Materi Pembelajaran Matematika Siswa Tunagrahita

Kemampuan operasi hitung penjumlahan termasuk dalam kemampuan berhitung. Kemampuan operasi hitung penjumlahan menjadi sangat penting dipelajari, sehingga siswa tunagrahita mampu melakukannya. Hal ini dikarenakan kemampuan operasi hitung penjumlahan menjadi dasar kemampuan operasi hitung lain seperti pengurangan, perkalian dan pembagian. Menurut Munawir Yusuf  ilmu hitung merupakan suatu bahasa untuk menjelaskan hubungan antara berbagai proyek, kejadian  dan waktu.Kemampuan menghitung secara umum menggunakan simbol-simbol angka. Angka merupakan bahasa simbol yang menggantikan bilangan. Kemampuan operasi hitung penjumlahan menjadi pembelajaran penting bagi siswa tunagrahita. Hal ini dikarenakan dalam kehidupan sehari-hari menggunakan aplikasi pembelajaran matematika sering dilakukan. Sebagai contohnya dalam penggunaan uang sebagai alat tukar. Penggunaan angka-angka sebagai penyebutan sifat dan jumlah benda dalam operasi hitung penjumlahan. Angka yang menunjukkan nilai menurut Mumpuniarti bermakna dimensi kuantitatif jika berfungsi sebagai petunjuk cardinal dan dimensi kualitatif jika berfungsi sebagai petunjuk ordinal.[11]
Tahapan belajar matematika khususnya operasi hitung penjumlahan menurut Heruman terbagi atas tiga tahapan yaitu penanaman konsep, pemahaman konsep dan pembinaan keterampilan. Pemberian konsep yang tepat menurut Heruman dilakukan melalui media yang sederhana, tetapi tepat pada sasaran sehingga konsep tersebut akan lebih cepat dipahami dan dimengerti oleh siswa. [12]
Operasi hitung penjumlahan terbagi atas dua cara yaitu penjumlahan ke samping dan penjumlahan bersusun ke bawah. Penjumlahan menurut Maman Abdurahman dan Hayatin Nufus  merupakan penggabungan  himpunan-himpunan atau penambahan dua bilangan dengan suatu bilangan yang merupakan jumlah. Cara yang dapat digunakan untuk menjumlahkan bilangan-bilangan tersebut terdiri dari dua cara yaitu penjumlahan ke samping dan bersusun ke bawah. Menurut Maman Abdurahman dan Hayatin Nufus penjumlahan ke samping yaitu penjumlahan yang pengerjaan hitungannya guna untuk memperoleh jumlah bilangan dari hasil penjumlahan ke samping. Sedangkan penjumlahan bersusun ke bawah adalah penjumlahan yang pengerjaan hitungannya guna untuk memperoleh jumlah bilangan dari hasil penjumlahan bersusun ke bawah.
Operasi hitung penjumlahan ke samping dan bersusun ke bawah yang terdapat dalam kurikulum SLB  tahun 2007 mencapai bilangan hingga seratus, misalnya:
a.       Penjumlahan ke samping
7 + 4 = ………
59 + 12 = ………
b.      Penjumlahan bersusun ke bawah
   

Pembelajaran matematika mengenai operasi hitung penjumlahan hingga seratus mengandung berbagai aspek kemampuan abstraksi dalam memahaminya. Akan tetapi siswa tunagrahita memiliki keterbatasan dalam kemampuan abstraksinya. Akibatnya siswa tunagrahita mengalami kesulitan dalam kemampuan operasi hitung penjumlahan,sehingga akan berdampak pada kesulitan dalam pembelajaran mata uang dan operasi perhitungan.
Kesulitan belajar berdampak bagi pembelajaran siswa selanjutnya dan tidak dapat memenuhi KKM yang diharapkan. Oleh karena itu, siswa yang mengalami sesulitan belajar utamanya kesulitan belajar matematika perlu mendapatkan layanan pendidikan dengan memperhatikan prinsip pengajaran matematika.

B.     PROSES BERPIKIR

Proses atau jalannya berpikir itu pada pokoknya ada empat langkah, yaitu 
a.       Pembentukan Pengertian , atau lebih tepatnya disebut pengertian logis di bentuk melalui empat tingkatan, sebagai berikut: 
·         Menganalisis ciri-ciri dari sejumlah obyek yang sejenis. Obyek tersebut kita perhatikan unsur - unsurnya satu demi satu. Kita ambil manusia dari berbagai bangsa lalu kita analisa ciri-ciri misalnya, Anak Tunagrahita ringan, ciri - cirinya: anak yang mengalami yang lancar berbicara, dan untuk Anak Tunagrahita Sedang, ciri-cirinya: anak yang hampir tidak bisa mengikuti pelajaran akademik,pada umumnya anak Tunagrahita Sedang belajar secara membeo.[13] 
·         Membanding-bandingkan ciri tersebut untuk diketemukan ciri - ciri mana yang sama, mana yang tidak sama, mana yang selalu ada dan mana yang tidak selalu ada mana yang hakiki dan mana yang tidak hakiki. 
·         Mengabstraksikan, yaitu menyisihkan, membuang, ciri-ciri yang tidak hakiki, menangkap cirri-ciri yang hakiki. Pada contoh di atas ciri - ciri yang hakiki itu ialah: Makhluk hidup yang berbudi. 
b.      Pembentukan Pendapat, yaitu meletakkan hubungan antara dua buah pengertian atau lebih. Pendapat yang dinyatakan dalam bahasa disebut kalimat, yang terdiri dari pokok kalimat atau subjek dan sebutan atau predikat. Subjek adalah pengertian yang diterangkan, sedangkan predikat adalah menerangkan. Pendapat dibedakan menjadi tiga macam: 
1.      Pendapat Afirmatif (positif), yaitu pendapat yang mengiyakan, secara tegas menyatakan keadaan sesuatu, misalnya si Ani itu rajin, si Totok itu pandai, dsb. 
2.      Pendapat Negatif, yaitu pendapat yang secara tegas menerangkan tidak adanya sesuatu sifat pada sesuatu hal, misalnya si Ani tidak marah, si Totok tidak bodoh, dsb. 
3.      Pendapat Modalitas (kebarangkalian), yaitu pendapat yang menerangkan kemungkinan-kemungkinan sesuatu sifat pada suatu hal, misalnya hari ini mungkin hujan, si Ali mungkin tidak datang, dsb. 
c.       Pembentukan Keputusan, yaitu menggabung-gabungkan pendapat tersebut. Keputusan adalah hasil perbuatan akal untuk membentuk pendapat baru berdasarkan pendapat-pendapat yang telah ada. Ada tiga macam keputusan, yaitu: 
1.      Keputusan induktif yaitu keputusan yang diambil dari pendapat-pendapat khusus menuju ke satu pendapat umum. Misalnya :tembaga dipanaskan memuai, perak dipanaskan memuai , jadi semua logam dipanaskan memuai. 
2.      Keputusan deduktif ditarik dari hal yang umum ke hal yang khusus , jadi berlawanan dengan keputusan induktif. misalnya: semua logam kalau dipanaskan memuai (umum), tembaga adalah logam. Jadi, kesimpulan tembaga kalau dipanaskan memuai.
3.      Keputusan analogis ialah keputusan yang diperoleh dengan jalan membandingkan atau menyesuaikan dengan pendapat-pendapat khusus yang telah ada. Misalnya: totok anak pandai, naik kelas (khusus). totok anak pandai, naik kelas (khusus). Jadi kesimpulan si nunung anak yang pandai itu, tentu naik kelas.  
d.      Pembentukan Kesimpulan, yaitu menarik keputusan dari keputusan-keputusan yang lain.[14] 

1.      Pengertian Berpikir

Pendapat para ahli mengenai berpikir itu bermacam-macam. Misalnya ahli-ahli psikologi asosiasi menganggap bahwa berpikir adalah kelangsungan tanggapan-tanggapan dimana subjek yang berpikir pasif. Plato beranggapan bahwa berpikir itu adalah berbicara dalam hati. Sehubungan dengan pendapat Plato ini adalah pendapat yang mengatakan bahwa berpikir adalah aktivitas ideasional. Pada pendapat yang terakhir itu dikemukakan dua kenyatan, yaitu:
a.       Bahwa berpikir itu adalah aktivitas, jadi subjek yang berpikir aktif.
b.      Bahwa aktifitas itu sifatnya ideasional, jadi bukan sensoris dan bukan motoris, walaupun dapat disertai oleh kedua hal itu, berpikir itu menggunakan abstraksi-abstraksi dan ideas.
Selanjutnya ada pendapat yang lebih menekankan kepada tujuan berpikir itu, yaitu yang mengatakan bahwa berpikir adalah meletakkan hubungan antara bagian-bagian pengetahuan kita. Bagian- bagian pengatahuan kita yaitu segala sesuatu yang kita miliki, yang berupa pengertian-pengertian dan dalam batas tertentu juga tanggapan-tanggapan.
Berpikir adalah proses yang dinamis yang dapat dilukiskan menurut proses atau jalannya.[15]
                                         
2.      Proses Berpikir Berdasarkan Asimilasi dan Akomodasi Piaget

a.       Proses Berpikir Berdasarkan asimilasi
Asimilasi adalah suatu proses mental yang terjadi ketika seorang anak memasukkan pengetahuan baru kedalam pengetahuan yang sudah ada.[16] Selanjutnya menurut Suparni asimilasi merupakan proses kognitif yang dengannya seseorang yang mengintegrasikan informasi presepsi,konsep.[17]
Proses Berpikir asimilasi ini didasarkan atas kenyataan bahwa setiap manusia selalu mengasimilasi informasi-informasi yang sampai padanya,dimana kemudian informasi tersebut dikelompokkan kedalam istilah sebelumnya sudah mereka ketahui.dapat disimpulkan bahwa asimilasi adalah proses yang mana individu mengintegrasikan(berasimilasi) antara persepsi,konsep atau pengalaman baru dalam skema(jamak) kognitifnya. Misalnya ; seorang siswa mempunyai skema tentang perkalian sebagai penjumlahan bilangan sebanyak n kali .kemudian guru memberikan informasi baru mengenai eksponensial atau perkalian bilangan yang sama sebanyak n kali. Dengan pemberian informasi tersebut ,siswa akan merasa proses perkalian sebagai penjumlahan bilangan sebanyak n kali berbeda dengan perkalian dengan bilanga yang sama sebanyak n kali karena mempunyai kekususan yaitu dalam penulisannya.



b.      Proses Berpikir Berdasarkan Akomondasi Piaget

Tahap Akomodasi adalah suatu proses mental yang terjadi ketika anak menyesuaikan diri dengan informasi baru.[18] Selain itu akomodasi adalah proses restrukturisasi skemata yang sudah ada sebagai akibat adanya informasi dan pengalaman baru yang tidak dapat secara langsung diasimilasikan pada sekemata tersebut. Dapat disimpulkan bahwa akomodasi adalah proses yang mana individu apabila informasi belum cocok dengan struktur kognitif yang telah dimiliki individu tersebut, maka struktur kognitif yang sudah ada direstrukturisasikan sehingga terjadi penyesuaian(akomodasi) dan baru kemudian diperoleh pengetahuan baru.[19]
Pada tahap ini siswa dituntut untuk dapat menemukan kata-kata kunci sesuai dengan topik atau tema pembelajaran. Pada tahap ini melalui dialog, guru membimbing agar siswa dapat menyimpulkan apa yang mereka temukan dan mereka pahami sekitar topik yang di permasalahkan.[20]
Piaget menciptakan teori bahwa bahwa cara berpikir logis berkembang secara bertahap, kira-kira pada usia dua tahun dan pada sekitar tujuh tahun. Menurut Piaget, cara berpikir anak-anak sama sekali tidak seperti cara berpikir orang dewasa. Pikiran anak-anak tampaknya diatur berlainan dengan orang yang lebih besar. Anak-anak kelihatannya memecahkan persoalan pada tingkatan yang sama sekali berbeda. Perbedaan anak-anak yang lebih kecil dan lebih besar tidak terlalu berkaitan dengan persoalan bahwa anak yang lebih besar mempunyai pengetahuan yang lebih banyak, melainkan karena pengetahuan mereka berbeda jenis, dengan penemuan ini Piaget mulai mengkaji perkembangan stuktur intelektual

Berikut tahapan-tahapan perkembangan menurut Piaget: 

1)      Tahap sensorimotor

Tahap ini yang berlangsung sejak kelahiran sampai sekitar usia 2 tahun adalah tahapan piagetian pertama. Dalam tahap ini, bayi menyusun pemahaman dunia dengan mengoordinasikan pengalaman indra (sensory) mereka seperti melihat dan mendengar dengan gerakan motor (otot) mereka menggapai menyentuh dan karenanya diistilahkan sebagai sensorimotor. Pada awal tahap ini bayi melihatkan tak lebih dari pola reflektif untuk beradaptasi dengan dunia. Menjelang akhir tahap ini ,bayi menunjukkan pola sensorimotor yang lebih kompleks.
Menurut pieget, seperti inilah kehidupan mental dalam bayi yang baru saja lahir. Jabang bayi tidak dapat membedakan antara dirinya dan dunianya dan tidak punya pemahaman tentang kepermanenan objek.[21]

2)      Tahap pra-operasional 
Tahapan ini adalah tahapan piagetan kedua. Tahap ini berlangsung kurang lebih mulai usia 2 tahun sampai 7 tahun. Ini adalah tahap pemikiran yang lebih simbolis ketimbang pada tahap sensorimotor tetapi tidak melibatkan pemikiran operasional. Namun tahap ini lebih bersifat egosentris dan intuitif ketimbang logis. Pemikiran pra-operasional bisa dibagi lagi menjadi dua subtahap, yaitu :
a.       Subtahap fungsi simbolis, terjadi kira-kira usia 2 sampai 4 tahun. Dalam subtahap ini,anak kecil secara mental mulai bisa mempresentasikan objek yang tak hadir. Ini memperluas dunia mental anak hingga mencakup dimensi-mensi baru. Penggunaan bahasa yang mulai berkembang dan kemunculan sikap bermain adalah contoh lain dari peningkatan pemikiran simbolis dalam subtahap ini. Anak kecil mulai mencoret-coret gambar orang, rumah, mobil,awan, dan banyak benda lain dari dunia ini. Mungkin karna anak kecil tidak begitu peduli pada realitas, gambar mereka tampak khayal.
Meskipun anak kecil membuat kemajuan di subtahap ini, pemikiran pra-oprasional masih mengandung dua keterbatasan yaitu egosentrisme yaitu ketidak mampuan untuk membedakan antara perspektif milik sendiri dengan perspektif orang lain. Contoh interaksi telfon antara merri yang berusia 4 tahun yang berada di rumah, dengan ayah nya yang berada di kantor. Itu menunjukan pemikiran egosentris.


b.      Subtahap pemikiran intuitif adalah subtahap kedua dalam pemikiran pra-oprasional, di mulai sekitar usia 4 tahun dan berlangsung sampai usia 7 tahun. Pada subtahap ini anak mulai menggunakan penalaran primitif dan ingin tahu semua jawaban dari semua pertanyaan. Piaget menyebut tahap ini sebagai intuitif karna anak-anak tampak nya merasa yakin terhadap pengetahuan dan pemahaman mereka, tetapi tidak menyadari bagaimana mereka bisa mengetahui apa-apa yang mereka ketahui. Artinya mereka mengatakan bahwa mereka tahu sesuatu tetapi mereka mengetahuinya tanpa menggunakan pemikiran rasional.[22]

3)      Tahap operasional konkret 
Dimulai dari sekitar umur 7 tahun sampai sekitar 11 tahun. Pemikiran operasional konkret mencakup penggunaan operasi. Penalaran logika menggantikan penalaran intuitif, tetapi hanya dalam situasi konkret. Kemampuan untuk menggolong-golongkan sudah ada, tetapi belum bisa memecahkan problem-problem abstrak. Operasi konkret adalah tindakan mental yang bisa dibalikkan yang berkaitan dengan objek konkret nyata. Operasi konkret membuat anak bisa mengoordinasikan beberapa karakteristik, jadi bukan hanya fokus pada satu kualitas dari objek.


4)      Tahap operasional formal 
Tahap ini,yang muncul pada usia 7 tahun sampai 15 tahun. Pada tahap ini, individu mulai memikirkan pengalaman diluar pengalaman konkret, dan memikirkannya secara lebih abstrak, idealis, dan logis. Kualitas abstrak dari pemikiran operasional formal tampak jelas dalam pemecahan problem verbal. Pemikiran operasional konkret perlu melihat elemen konkret A, B, dan C untuk menarik kesimpulan logis bahwa jika A = B dan B = C , maka A = C. Sebaliknya, pemikir operasional formal dapat memecahkan persoalan ini walau problem ini hanya disajikan secara verbal.
Selain memiliki kemampuan abstraksi, pemikir operasional formal juga punya kemampuan untuk melakukan idealisasi dan membayangkan kemungkinan-kemungkinan. Pada tahap ini remaja mulai melakukan pemikiran spekulasi tentang kualitas ideal yang mereka inginkan dalam diri mereka dan diri orang lain. Pemikiran idealis ini bisa menjadi fantasi atau khayalan. Banyak remaja tak sabar terhadap cita-cita mereka sendiri. Mereka juga tidak sabar menghadapi problem untuk mewujudkan cita-citanya itu. Saat remaja berpikir secara lebih abstrak dan idealis, pada saat yang sama mereka juga mulai berpikir secara lebih logis. Sebagai pemikir operasional formal, mereka juga mulai mirip ilmuan. Mereka menyusun rencana untuk memecahkan masalah dan secara sistematis menguji solusinya. Istilah piaget penalaran hipotesis deduktif adalah konsep operasional formal piaget yang menyatakan bahwa remaja dapat mengembangkan hipotesis untuk memecahkan problem dan menarik(deduce) kesimpulan secara sistematis.

3.      Karakteristik Proses Berpikir Berdasarkan Kerangka Asimilasi dan Akomodasi

·         Karakteristik Proses Berpikir Berdasarkan Kerangka Asimilasi

Karakter siswa  mengenai cara anak menghadapi lingkungannya akan berubah seiring pertumbuhannya. Agar terjadi interaksi antar individu dengan lingkungan maka skema yang ada harus berubah. Proses merespon lingkungan yang sesuai dengan stuktur kognitif anak di sebut asimilasi. Asimilasi adalah proses pengintregrasian secara langsung stimulus baru kedalam skema yang telah terbentuk  proses penggunaan struktur atau kemampuan individu untuk mengatasi masalah dalam lingkungannya.

·         Karakteristik Proses Berpikir Berdasarkan Kerangka Akomodasi
Jika asimilasi adalah satu-satunya proses kognitif, maka tidak ada perkembangan intelektual anak tersebut karena hanya akan mengasimilasikan pengalaman dalam struktur kognitif.akan tetapi pengalaman baru tidak cocok dengan skema yang ada, sehingga individu akan mengadakan akomodasi. Tahap akomodasi bisa juga dikatakan sebagai tahap pemantapan hasil belajar, sebab pada tahap ini siswa diarahkan untuk mampu mengungkap kembali pembahasan yang dianggap penting dalam proses pembelajaran.[23]

C.    ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

c.       Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)
Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata abnormal diartikan tidak sesuai dengan keadaan yang biasa, mempunyai kelainan dan tidak normal.[24]
Menurut Heward, Anak Berkebutuhan khusus adalah anak dengan kepemilikan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak lain pada umumnya tanpa selalu menunjukkan pada ketidak mampuan mental, emosi, atau fisik.[25]
Anak Berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki kelainan penyimpangan dari kondisi rata-rata anak normal umumnya dalam hal fisik, mental maupun karakteristik perilaku sosialnya.[26]
Dapat disimpulkan bahwa anak berkebutuhan khusus adalah anak yang mempunyai karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya. Karena karakteristik dan hambatan yang dimiliki ABK memerlukan bentuk pelayanan pendidikan khusus yang disesuaikan dengan kemampuan dan potensi mereka.


d.      Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus
1)      Tunanetra
2)      Tunagrahita
3)      Tunalaras
4)      Tunarungu wicara
5)      Tunadaksa
6)      Tunaganda
7)      Kesulitan Belajar
8)      Anak berbakat
9)      Anak Autistik
10)  ADHD

D.    TUNA GRAHITA

1.      Pengertian Tuna Grahita

M. Amin berpendapat bahwa anak tunagrahita adalah mereka yang jelas-jelas kecerdasannya dibawah rata-rata.[27] Disamping itu mereka mengalami keterbelakangan dalam penyesuaian diri dengan lingkungannya,kurang cakap dalam memikirkan hal yang abstrak dan berbelit-belit. Sedangkan pengertian tentang tunagrahita seperti yang dikemukakan oleh A. Supraktiknya tunagrahita adalah fungsi intelektual umum dibawah rata-rata disertai dengan ketidak mampuan beradaptasi terhadap tuntutan lingkungan yang muncul selama pertumbuhan.[28] Dari pengukuran intelegensi ,mereka yang ber-IQ kurang dari 70 dan tidak memiliki ketrampilan sosial atau menentukkan perilaku yang tidak sesuai dengan usianya. Berdasarkan kedua definisi dtersebut jelas bahwa anak tunagrahita adalah seorang yang mengalami kelainan pada intelektual, akan tetapi apabila mendapat pendampingan dari orang tua sejak dini mereka bisa dididik dan dilatih ketrampilan sederhana sehingga mereka dapat mengoptimalkan kemampuan dan potensi dirinya semaksimal mungkin.[29]

2.      Karakteristik Tunagrahita

Karakteristik Tuna Grahita pada umumnya adalah :
Memahami anak tunagrahita secara umum adalah hal yang mudah sebab tinggal membaca buku tentang anak tunagrahita, yang dimaksud penulis adalah karakteristik secara komprehesif atau menyeluruh mulai dari keadaan fisik, afektif, motorik dan kognitifnya dengan ditail pada setiap individunya. Ini tidak bisa dilakukan dengan membaca buku tentang anak tunagrahita saja tetapi kita harus melakukan indentifikasi dan melakukan asesmen secara lengkap dan detail.
Hasil asesmen inilah yang menjadi titik tolak dalam pengembangan program assesmen dan pengembangan kurikulum serta program pembelajaran individual bagi anak tunagrahita. Karakteristik anak Tunagrahita pada umumnya yaitu:
a. Lamban dalam mempelajari hal-hal baru
b.Kesulitan dalam menggeneralisasi dan mempelajari hal-hal yang baru
c. Kemampuan bicaranya sangat kurang bagi anak tunagrahita berat
d.                        Cacat fisik dan perkembangan gerak
e. Kurang dalam kemampuan menolong diri sendiri
f. Tingkah laku dan interaksi yang tidak lazim
g.Tingkah laku yang kurang wajar yang terus menerus.[30]
3.      Penyebab Tunagrahita

Tunagrahita dapat disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut :
a.       Generik (kerusakan atau kelainan biokimiawi, abnormalitas kro-mosomal)
b.      Sebelum lahir (pre-natal)
·         Infeksi Rubella (cacar)
·         Faktor rhesus (Rh)
c.       Kelahiran (pre-natal) yang disebabkan oleh kejadian yang terjadi pada saat kelahiran
d.      Setelah lahir (post-natal) akibat infeksi misalnya meningitis (peradangan pada selaput otak) dan problema nutrisi yaitu kekurangan gizi seperti kekurangan protein.
e.       Faktor sosio-kultural atau sosial budaya lingkungan
f.       Gangguan metabolism atau nutrisi :
·         Phenylketonuria
·         Gargoylisme
·         Cretinisme

4.      Klasifikasi anak tunagrahita

Mengenal perilaku abnormal, menggolongkan tunagrahita berdasarkan hasil pengukuran intelegensisebagai berikut :
a.       Retardasi mental ringan
Penderita ini memiliki IQ antara 52-69 dan meliputi bagian terbesar populasi retardasi mental. Sesudah IQ mereka setara dengan 8-11 tahun. Penyesuaian mereka hampir setara dengan remaja normal namun kalah dalam imajinasi, kreativitas kan kemampuan membuat penilaian-penilaian mereka ini educable atau mampu di didik.

b.      Retardasi mental sedang (IQ 36-51)
Sesudah dewasa IQ mereka setara dengan anak usia 4-7 tahun. Secara fisik mereka tampak wagu dan biasanya memiliki sejumlah cacat fisik. Koordinasi motoriknya buruk, sehingga gerakan tangan kaki maupun tubuhnya tidak luwes. Mereka lamban belajar dan mereka trainable atau dapat dilatih.
c.       Retardasi mental Berat ( IQ 21-35)
Mereka sering disebut dependent retarded atau penderita lemah mental yang tergantung. Mereka dapat dilatih untuk menolong diri sendiri secara terbatas.
d.      Retardasi mental Sangat Berat (20 Kebawah)
Mereka yang disebut golongan life support retarded atau golongan lemah mental yang perlu disokong secara penuh agar dapat bertahan hidup.

5.      Kemampuan Belajar Matematika Tunagrahita

Kemampuan siswa tunagrahita dari segi kognitif pada umumnya terhambat akibat lemahnya intelektual yang dimiliki. Tahapan proses kognitif menurut Mussen, Conger dan Ragan dalam Mohammad Effendi melalui; (1) persepsi, (2) ingatan, (3) mengembangan ide, (4) penilaian, (5) penalaran.[31] Sementara itu perkembangan kognitif menurut Piaget dalam melewati periode perkembangan (1) periode sensomotor (0-2 tahun), (2) periode praoperasional (2-7 tahun), (3) periode operasional konkret (7-11/12 tahun), (4) periode operasional formal (11/12- 13/14 tahun).
Menurut Kirk dalam Mohammad Effendi , perkembangan kognitif siswa tunagrahita berhenti pada tahap operasional konkret.[32] Oleh karena itu, meskipun usia kronologis siswa tunagrahita sama dengan siswa normal, tetapi prestasi yang diraih berbeda dengan siswa normal. Meskipun demikian, potensi yang dimiliki siswa tunagrahita masih dapat dikembangkan secara akademik melalui pendidikan khusus.
Menurut Mohammad Effendi dampak keterlambatan perkembangan kognitifnya antara lain: cenderung berpikir konkret dan sukar berpikir, mengalami kesulitan dalam berkonsentrasi, prestasi tertinggi bidang baca dan tulis sedangkan hitung tidak lebih dari siswa normal setingkat kelas 3-4 SD.[33] Kemampuan berhitung siswa tunagrahita  melalui pendidikan khusus diajarkan dalam mata pelajaran matematika.
Matematika merupakan mata pelajaran yang perlu diberikan bagi siswa tunagrahita ringan, hal ini karena matematika secara sadar ataupun tidak selalu digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh dalam menggunakan uang, kasus tersebut menerapkan konsep dan berfikir matematika yang berdasar dengan kemampuan mengenal kuantitas bilangan menurut nilai dan tempatnya.
 Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kemampuan belajar matamatika secara kognitif siswa tunagrahita  rendah. Meskipun demikian, potensi kemampuan berhitung yang dimiliki dapat dikembangkan melalui pendidikan khusus dengan memperhatikan tahapan perkembangannya yaitu operasional konkret.




6.      Prinsip Dasar Pembelajaran Matematika Siswa Tunagrahita

Pembelajaran matematika bagi siswa tunagrahita di dasarkan atas karakteristik kemampuan siswa. Dasar-dasar pembelajaran matematika menurut Wehman & Laughlin dalam Mumpuniarti dapat penulis kemukakan:
                                                                          i.      Keterampilan menghitung yang merupakan hubungan dengan kuantitas.Siswa tunagrahita perlu memiliki keterampilan menghitung dalam pemecahan masalah dan aplikasi bidang vokasional. Dengan demikian, pembelajaran menghitung hendaknya diberikan secara fungsional yang dikaitkan dengan kebiasaan sehari-hari.
                                                                        ii.      Pembelajaran bilangan yang berwujud belajar memberi label yang menandakan suatu elemen-elemen seperti angka cardinal, ordinal dan angka rasional.
                                                                      iii.      Pengangkaan yang merupakan proses mengekspresikan bilangan yang terkait dengan simbol atau angka. Pengangkaan termasuk kata bilangan, angka romawi, angka hindu arab, pecahan decimal dan nilai tempat.
                                                                      iv.      Hubungan yang melibatkan korespondensi dua atau lebih tentang suatu susunan.
                                                                        v.      Pengukuran yang termasuk penggunaan bilangan untuk mendeskripsikan objek dan unit-unit yang berbeda seperti tentang waktu dan uang.
                                                                      vi.      Pengoprasian bilangan yang berkaitan dengan manipulasi bilangan.
                                                                    vii.      Pengoprasian angka rasional.
                                                                  viii.      Pemecahan masalah yang melibatkan penggunaan hitungan.[34]
Pendekatan pembelajaran matemataika siswa tunagrahita  tentunya perlu memperhatikan kondisi peserta didik atas dasar kemampuan kognitif yang lemah. Hal ini selaras dengan teori Piaget bahwa pembelajaran yang menyesuaikan dengan perkembangan siswa pada tahapan konkret, semi konkret, semi abstrak dan abstrak. Mumpuniarti menyatakan prinsip pembelajaran yang berimplikasi pada pembelajaran pada siswa tunagrahita dapat penulis kemukakan di antaranya:
1.      Suatu program hendaknya disusun dari tahapan yang sederhana menuju yang lebih kompleks.
2.      Belajar hendaknya dilakukan secara aktif, sehingga dapat berjalan secaraefektif dan efisien.
3.      Berikan penguat secara langsung ketika siswa menunjukkan respon yang diharapkan.
4.      Program hendaknya menyiapkan pengajaran yang bersifat individual,sehingga siswa mampu belajar sesuai dengan kemampuannya.
5.      Evaluasi yang konsisten dilakukan guna memperoleh refleksi setiap materi pengajaran sehingga dapat memberikan catatan agar diperoleh cara yang efektif dan efisien.
6.      Materi yang ditetapkan hendaknya mendukung dalam pencapaian tujuan khusus yang telah ditetapkan.
7.      Materi yang disampaikan dalam batas-batas kemampuan dan bermanfaat bagi siswa.
8.      Materi disajikan dari yang mudah ke yang sukar, dari yang sederhana ke yang kompleks dan dari yang konkret ke yang abstrak.[35]
Atas dasar prinsip pembelajaran di atas, pembelajaran matematika bagi siswa tunagrahita hendaknya lebih menggunakan benda-benda yang merangsang pemikiran pembelajaran matematika operasi bilangan penjumlahan , siswa seperti mainan seperti bola, balon, dan sebagainya. Pemilihan mainan dengan mainan yang mereka sukai, untuk menyelesaikan soal operasi bilangan penjumlahan akan lebih mudah membuat mereka memahaminya, sehingga siswa tunagrahita dapat menjembatani proses KBM sehingga mampu memotivasi siswa untuk belajar secara aktif. Belajar yang tepat bagi siswa tunagrahita  dilakukan dengan cara yang menyenangkan, sehingga siswa marasa bebas, asyik tanpa ada beban dalam menerima suatu konsep materi yang disampaikan.

E.     Hakikat Operasi hitung Penjumlahan dan Menyelesaikan soal dalam operasi hitung untuk Siswa Tuna Grahita

1.         Hakikat Operasi hitung Penjumlahan
bilangan bulat negatif, ciri-cirinya didepan bilangan itu terdapat tanda (-) , Misalnya ; (-1) dibaca negatif satu). Bilangan bulat Nol, hanya ada satu bilangan bilangan bulat Nol,Yaitu 0 ( di baca Nol, bukan kosong).
         Bilangan bulat positif ciri-cirinya didepan bilangan tersebut terdapat tanda (+), Misalnya; (+2) dibaca positif dua. Tetapikemudian tanda (+) itu tidak dituliskan , ini berarti bahwa bilangan positif tidak menggunakan tanda (+), tetapi cukup ditulis bilangannya saja, maka bilangan bulat selain Nol yang tidak terdapat tanda (-) ataupun (+) itu diartikan bilangan bulat positif . Misalnya; 4 (dibaca empat/diartikan positif empat).
Anak Tuna Grahita kebanyakan sulit memahami pelajaran matematika mengenai Operasi hitung penjumlahan.


Rounded Rectangle: Tanda operasi hitung berjajar antara (+) dan (-) :
Ø	Bila ada tanda operasi hitung berjajar (+) dan (+) diartikan (+)
Misal; 5+(+5) Artinya 5+5
Ø	 Bila ada tanda operasi hitung berjajar (+) dan (-) diartikan (-)
Misal; 5+(-5) Artinya 5-5
Ø	Bila ada tanda operasi hitung berjajar (-) dan (+) diartikan (-)
Misal; 5-(+5) Artinya 5-5
Ø	Bila ada tanda operasi hitung berjajar (-) dan (-) diartikan (+)
Misal; 5-(-5) Artinya 5+5
 










Hakikat Operasi hitung penjumlahan;
a.          Positif ditambah positif
Hasilnya pasti bilangan positif,
Contoh : 16+5=21
b.      Positif/negatif ditambah Nol
Hasilnya Bilangan bulat asal
Contoh : 16+0=16
c.       Positif ditambah negatif
Hasilnya positif atau negatif mengikuti bilangan bulat yang lebih besar.
                                                                                                              i.      Bila yang lebih besar merupakan bilangan positif, maka jawabannya positif.
                                                                                                            ii.      Bila yang lebih besar adalah bilangan Negatif, maka jawaban bilangan bulat negatif.
Cara mengerjakannya adalahabaikan dulu tanda positif/negatif, lalu bilangan yang lebih besar dikurangi bilangan yang lebih kecil, sesudah itu tentukan negatif atau positifnya.


Contoh ;
ü  16+(-5)=11
   16-5     =11
   16 lebih besar dan positif maka jawabannya 11 juga positif

ü  5+(-16)=-11
16-5  = 11
-16 lebih besar dan negatif , maka jawabannya -11 juga Negatif

d.      Negatif ditambah negatif
Hasilnya bilangan bulat negatif, sama saja ketika mengerjakan positif dengan positif, hanya saja disini bilangan negatif.
Contoh ;
(-16)+(-5) > positif berjajar dengan negatif diartikan negatif.
(-16)-5    = -21

2.      Menyelesaikan soal-soal materi operasi hitung penjumlahan untuk anak Tuna Grahita.
a)      Menyebutkan atau menunjukkan lambang bilangan;
2 5 3 8 1
9 7 6 10 4
b)      Menulis lambang bilangan
·         Tulislah lambang bilangan 1 ?
·         Tulislah lambang bilangan 5 ?
·         Tulislah lambang bilangan 3 ?
·         Tulislah lambang bilangan 2 ?
c)      Mengurutkan
Isilah titik dibawah ini dengan lambang bilangan yang tepat :
§  1, ....., 3....... 5 ......7 ......9 ......
§  1........3, 4,.....6,....8,....,10
d)     Nilai tempat
Nilai tempat satuan, puluhan, ratusan, dan ribuan:
Satuan :
e.       1           = satuan
f.       2           = satuan
Puluhan :
g.      11         = Puluhan
h.       14        = Puluhan
i.        19         = puluhan
ratusan:
1.      125       = ratusan
2.      886       = Ratusan
3.      905       = Ratusan
Ribuan :
1.      7235     = ribuan
2.      1256     = ribuan
·         1 puluhan + 0 satuan =
·         1 ratusan + 0 Puluhan + 3 Satuan =
·         2 Ribuan + 0 Ratusan + 0 Puluhan + 9 Satuan =

e)      Operasi hitung
                         Jumlahkan bilangan-bilangan dibawah ini :
2.      1+1 =
3.      2+3 =
4.      3+4 =
5.     
6.     
             Penafsirannya :
    Anak sudah cukup mampu menyelesaikan soal operasi hitung penjumlahan dibawah 10, tetapi anak masih kesulitan dalam penjumlahan dengan teknik penjumlahan ke samping dan penjumlahan bersusun. Jadi kebutuhan belajarnya adalah membutuhkan materi dasar penjumlahan dengan teknik penjumlahan ke samping dan penjumlahan bersusun

F.     Kerangka Berfikir

Siswa tunagrahita  mengalami hambatan dalam kemampuan intelektualnya. Hal ini mengakibatkan ketidak mampuannya dalam berpikir abstrak. Meskipun demikian, siswa tunagrahita masih dapat dikembangkan kemampuan akademiknya di sekolah khusus atau SLB . Salah satu kemampuan akademik yang terdapat dalam materi pembelajaran yang diberikan pada siswa tunagrahita adalah kemampuan dalam operasi hitung penjumlahan hingga seratus. Teknik yang dilakukan dalam operasi hitung penjumlahan adalah penjumlahan ke samping dan penjumlahan bersusun ke bawah.
Kegiatan menjumlah hingga nilai seratus sulit dipahami oleh siswa tunagrahita yang memiliki daya abstraksi rendah. Kondisi ini mengakibatkan siswa mengalami kesulitan dalam melakukan operasi hitung penjumlahan Dengan demikian dibutuhkan adanya suatu pembelajaran untuk mengulang setiap materi guna mengatasi kesulitan siswa tunagrahita dalam operasi hitung penjumlahan. Pada dasarnya tahapan berpikir siswa tunagrahita terdiri dari tahap konkret menuju tahap abstrak.
Berikut ini dapat digambarkan kerangka pemikiran yang dijadikan dasar pemikiran dalam penelitian ini. Kerangka tersebut merupakan dasar pemikiran dalam melakukan analisis pada penelitian ini