BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
A. Pembelajaran
Matematika
1. Pengertian
Pembelajaran Matematika
Pembelajaran matematika
merupakan salah satu bagian yang penting dalam kurikulum pendidikan.
Pembelajaran Matematika terdiri dari dua kata yaitu pembelajaran dan matematika
yang masing-masing memiliki pengertian sendiri. Oleh karena itu, sebelum
membahas tentang pembelajaran matematika, terlebih dahulu kita ketahui
pengertian dari masing-masing kata.
a.
Pengertian
Pembelajaran
Pembelajaran
berasal dari kata “intruction” yang
berarti “pengajaran”. Pembelajaran atau pengajaran pada dasarnya merupakan
kegiatan guru atau dosen menciptakan
situasi agar siswa belajar.[1]
Dalam interaksi tersebut banyak sekali faktor yang mempengaruhinya, baik faktor
internal yang datang dari dalam diri individu, maupun faktor eksternal yang
datang dari lingkungan.
Menurut Oemar
Hamalik, “Pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi
unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan dan prosedur yang
saling mempengaruhi mencapai tujuan pembelajaran.”[2]
Didalam konsep
islam secara luas dijelaskan pentingnya pembelajaran bagi seorang dalam
menjalani kehidupan, seperti dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat Al-Mujadillah
ayat 11 sebagai berikut
Artinya :
Hai
orang-orang beriman apabila kamu dikatkan kepadamu: “Berlapangan-;lapanglah
dalam majlis”. Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu.
Dan apabila dikatakan “Berdirilah kamu”. Maka berdirilah, niscaya Allah akan
meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi
ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan.[3]
Dari
penjelasan ayat diatas, sudah jelas dikatakan bahwa Allah akan meninggikan
derajat bagi setiap orang yang beriman serta orang yang berilmu. Dengan
demikian diwajibkan bagi orang-orang yang beriman untuk mencari ilmu
pengetahuan.
Dengan
demikian, pembelajaran didefinisikan sebagai pengorganisasian atau pencipta
atau pengaturan suatu kondisi lingkungan yang sebaik-baiknya yang memungkinkan
terjadinya peristiwa belajar pada siswa. Pembelajaran adalah proses aktif siswa
untuk mempelajari dan memahami konsep yang dikembangkan dalam kegiatan belajar
mengajar.
b.
Pembelajaran
Matematika
Menurut kamus
besar bahasa indonesia, “Matematikan diartikan sebagai ilmu yang mempelari
bilangan-bilangan dengan cara menyelesaikan masalah mengenai bilangan”.[4] Senada
dengan hal tersebut menyatakan bahwa matematika merupakan suatu sistem yang rumit tetapi tersusun sangat baik yang
mempunyai banyak cabang[5] .
Matematika merupakan suatu bahan kajian yang memiliki
objek abstrak dan dan dibangun melalui proses deduktif yaitu kebenarn suatu
konsep yang diperoleh sebagai akibat logis dan kebenaran sebelumnya sudah
diteima, sehingga keterikatan antara konsep dalam matematika bersifat sangat
kuat dan jelas.
Namun demikian
pembelajaran dan pemahaman konsep dapat diawali secara induktif melalui
pengalaman peristiwa nyata atau intuisi. Proses induktif deduktif dapat
digunakan untuk mempelajari konsep matematika. Pembelajaran dapat dimulai
dengan beberapa contoh atau fakta yang teramati, membuat daftar sifat yang
muncul sebagai gejala, memperkirakan hasil baru yang diharapkan, yang kemudian
dibuktikan secara deduktif. Penerapan cara kerja matematika yang seperti ini
diharapkan dapat membentuk sikap kritis, kreatif, jujur, dan komunikatif pada
peserta didik.
Sedangkan
menurut kamus besar bahasa Indonesia, “Pembelajaran adalah proses, cara,
perbuatan menjadikan orang atau makhluk hidup belajar”.[6]
Dalam proses pembelajaran, situasi dan suasana yang kondusif harus dikembangkan
sedemikian rupa sehingga peserta didik dapat belajar dengan nyaman dan senang.
Guru harus mampu menyampaikan materi matematika dengan menggunakan metode
pembelajaran dan media pembelajaran yang sesuai, agar peseta didik mudah
menerima materi itu sendiri. Pembelajaran merupakan suatu proses yang kompleks
dan melibatkan berbagai aspek yang saling berkaitan. Oleh karena itu, untuk
menciptakan pembelajaran yang kreatif dan meyenangkan diperlukan berbagai
ketrampilan diantaranya adalah keterampilan membelajarkan atau keterampilan
mengajar.
Pembelajaran
matematika adalah siasat atau kiat yang sengaja direncanakan oleh guru, berkenaan
dengan segala persiapan pembelajaran agar pelaksanaan pembelajaran berjalan
dengan lancar dan tujuannya yang berupa hasil belajar bisa tercapai secara
optimal.[7]
Menurut Brunner sebagaimana dikutip oleh Heruman dalam bukunya Model
Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar mengatakan bahwa dalam pembelajaran
matematika, peserta didik harus menemukan sendiri berbagai pengetahuan yang
diperlukannya.[8]
Dalam pembelajaran ini, guru lebih banyak berperan sebagai pembimbing dibanding
pemberi tahu.
Berdasarkan
uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika merupakan
usaha yang disengaja yang melibatkan interaksi antara guru dan peserta didik
serta menggunakan kemampuan pedagogik guru untuk mencapai tujuan proses belajar
mengajar. Agar tujuan pembelajaran bisa tercapai, maka perlu diperhatikan
segala sesuatu yang mendukung keberhasilan pembelajaran itu. Dari sekian faktor
penunjang keberhasilan pembelajaran dalam proses belajar mengajar, proses
berpikir anak berkebutuhan khusus (ABK) tunagrahita merupakan salah satu faktor
internal yang mempengaruhi dalam proses pembelajaran, yang merupakan faktor
dominan tercapainya tujuan pendidikan.
2. Tujuan
Pembelajaran Matematika bagi Tunagrahita
Secara umum tujuan pembelajaran matematika menurut
Sri Subarinah adalah untuk membekali peserta didik atau siswa dengan kemampuan
berfikir logis, analitis, sistematis, kritis dan kreatif, serta kemampuan
bekerjasama. Menurut Antonius Cahya Prihandoko belajar
dengan matematika sebagai alat untuk latihan bernalar
secara benar, alat untuk memecahkan masalah, alat untuk mengekspresikan gagasan-gagasan dan
memungkinkan seseorang terlatih untuk
berpikir secara kritis dan kreatif. Menurut
Mumpuniarti pembelajaran matematika penting diberikan
kepada siswa tunagrahita dengan tujuan agar siswa tunagrahita mampu menggunakan konsep matematika
untuk pemecahan masalah, penggunaan
untuk situasi sehari-hari dan keterampilan menghitung.
Pelajaran matematika
merupakan salah satu mata pelajaran yang tercantum dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan
(KTSP). Kurikulum yang dirancang bagi tunagrahita
dikhususkan pada lembaga SLB . Mata pelajaran matematika
dalam kurikulum tersebut bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan:
a. Memahami
konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep
dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes,akurat, efisien dan
tepat dalam pemecehan masalah.
b. Menggunakan
penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi
matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti
atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
c. Memecahkan
masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,
merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.
d. Mengkomunikasikan
gagasan dengan simbol, tabel, diagram atau media
lain untuk memperjelas keadaan dan masalah.
e. Memiliki
sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan,
yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian dan minat dalam mempelajari matematika, serta
sikap ulet dan percaya diri dalam
pemecahan masalah.[9]
3. Materi
Pembelajaran Matematika Siswa Tunagrahita
Materi
pembelajaran matematika bagi siswa tunagrahita menurut Mumpuniarti diutamakan dalam
keterampilan hitung.[10]
Lebih lanjut dijelaskan pembelajaran pada
bidang tersebut meliputi: keterampilan pra
hitung, kemampuan menambah, mengurangi, mengalikan dan membagi. Keterampilan menghitung bagi siswa
tunagrahita dengan usia mental 8 tahun
antara lain
1. Menghitung
Pokok (cardinal), pada usia 8 tahun mencapai angka 10 sampai 1000.
2. Pengangkaan
a. Kata
angka pada usia 8 tahun mencapai angka sepuluh sampai seratus.
b. Angka
hindu arab pada usia 8 tahun mencapai 100 - 1000
c. Nilai
tempat pada usia 8 tahun mencapai ratusan.
3. Pemecahan
masalah, pada usia 8 tahun mencapai pemecahan masalah uang seribu ditambah lima ratus rupiah
dan memecahkan masalah mengurang
uang seribu dikurang lima ratus.
Berdasarkan
kurikulum SLB yang telah ditetapkan,
materi pembelajaran matematika bagi siswa
tunagrahita meliputi bidang bilangan,
geometri dan pengukuran serta mata uang. Sementara itu materi pembelajaran matematika bagi siswa
tunagrahita berdasarkan standar kompetensi
yang terdapat pada kurikulum SLB kelas
dasar III mengenai bilangan
yaitu melakukan perhitungan sampai seratus. Kompetensi dasar yang ditetapkan antara lain melakukan
penjumlahan ke samping 2 angka dan melakukan
penjumlahan bersusun ke bawah dengan teknik 2 kali menyimpan. Indikator yang ditetapkan antara lain melakukan penjumlahkan secara bersusun tanpa menyimpan dibawah
angka 100, Melakukan
penjumlahan secara bersusun menyimpan dibawah angka 100, Melakukan penjumlahkan kesamping dengan sampai 100.
Dengan
demikian siswa tunagrahita kelas dasar tiga diberikan materi pembelajaran operasi hitung penjumlahan yang hasilnya mencapai nilai ratusan dengan teknik menghitung ke
samping dan bersusun ke bawah.
4.
Kemampuan
Operasi Hitung Penjumlahan dalam Materi Pembelajaran Matematika Siswa
Tunagrahita
Kemampuan
operasi hitung penjumlahan termasuk dalam kemampuan berhitung. Kemampuan operasi hitung
penjumlahan menjadi sangat penting dipelajari,
sehingga siswa tunagrahita mampu melakukannya. Hal ini dikarenakan kemampuan operasi hitung
penjumlahan menjadi dasar kemampuan
operasi hitung lain seperti pengurangan, perkalian dan pembagian. Menurut Munawir Yusuf ilmu
hitung merupakan suatu
bahasa untuk menjelaskan hubungan antara berbagai proyek, kejadian dan
waktu.Kemampuan menghitung secara umum menggunakan simbol-simbol angka. Angka merupakan bahasa simbol
yang menggantikan bilangan. Kemampuan
operasi hitung penjumlahan menjadi pembelajaran penting bagi siswa tunagrahita. Hal ini dikarenakan
dalam kehidupan sehari-hari menggunakan
aplikasi pembelajaran matematika sering dilakukan. Sebagai contohnya dalam penggunaan uang sebagai
alat tukar. Penggunaan angka-angka sebagai penyebutan sifat dan jumlah
benda dalam operasi hitung penjumlahan.
Angka yang menunjukkan nilai menurut Mumpuniarti bermakna dimensi kuantitatif
jika berfungsi sebagai petunjuk cardinal dan
dimensi kualitatif jika berfungsi sebagai petunjuk ordinal.[11]
Tahapan
belajar matematika khususnya operasi hitung penjumlahan menurut Heruman terbagi atas tiga
tahapan yaitu penanaman konsep,
pemahaman konsep dan pembinaan keterampilan. Pemberian konsep yang tepat menurut Heruman dilakukan
melalui media yang sederhana, tetapi tepat
pada sasaran sehingga konsep tersebut akan lebih cepat dipahami dan dimengerti oleh siswa. [12]
Operasi
hitung penjumlahan terbagi atas dua cara yaitu penjumlahan ke samping dan penjumlahan bersusun ke
bawah. Penjumlahan menurut Maman Abdurahman
dan Hayatin Nufus merupakan penggabungan himpunan-himpunan
atau penambahan dua bilangan dengan suatu bilangan yang merupakan jumlah. Cara yang dapat
digunakan untuk menjumlahkan bilangan-bilangan
tersebut terdiri dari dua cara yaitu penjumlahan ke samping dan bersusun ke bawah. Menurut Maman Abdurahman
dan Hayatin Nufus penjumlahan
ke samping yaitu penjumlahan yang
pengerjaan hitungannya guna
untuk memperoleh jumlah bilangan dari hasil penjumlahan ke samping. Sedangkan penjumlahan
bersusun ke bawah adalah penjumlahan yang
pengerjaan hitungannya guna untuk memperoleh jumlah bilangan dari hasil penjumlahan bersusun ke bawah.
Operasi
hitung penjumlahan ke samping dan bersusun ke bawah yang terdapat dalam kurikulum SLB tahun 2007 mencapai bilangan hingga seratus, misalnya:
a. Penjumlahan
ke samping
7 + 4 = ………
59 + 12 = ………
b. Penjumlahan
bersusun ke bawah



Pembelajaran
matematika mengenai operasi hitung penjumlahan hingga seratus mengandung berbagai aspek
kemampuan abstraksi dalam memahaminya.
Akan tetapi siswa tunagrahita memiliki keterbatasan dalam kemampuan abstraksinya. Akibatnya
siswa tunagrahita mengalami kesulitan dalam kemampuan operasi hitung
penjumlahan,sehingga akan berdampak pada kesulitan dalam pembelajaran mata uang
dan operasi perhitungan.
Kesulitan
belajar berdampak bagi pembelajaran siswa selanjutnya dan tidak dapat memenuhi KKM yang
diharapkan. Oleh karena itu, siswa yang mengalami
sesulitan belajar utamanya kesulitan belajar matematika perlu mendapatkan layanan pendidikan dengan
memperhatikan prinsip pengajaran matematika.
B. PROSES
BERPIKIR
Proses
atau jalannya berpikir itu pada pokoknya ada empat langkah, yaitu
a. Pembentukan Pengertian , atau lebih
tepatnya disebut pengertian logis di bentuk melalui empat tingkatan, sebagai berikut:
·
Menganalisis
ciri-ciri dari sejumlah obyek yang sejenis. Obyek tersebut kita perhatikan
unsur - unsurnya satu demi satu. Kita ambil manusia dari berbagai bangsa lalu
kita analisa ciri-ciri misalnya, Anak Tunagrahita ringan, ciri - cirinya: anak yang
mengalami yang lancar berbicara,
dan untuk Anak Tunagrahita Sedang, ciri-cirinya: anak yang hampir tidak bisa mengikuti
pelajaran akademik,pada umumnya anak Tunagrahita Sedang belajar secara membeo.[13]
·
Membanding-bandingkan
ciri tersebut untuk diketemukan ciri - ciri mana yang sama, mana yang tidak
sama, mana yang selalu ada dan mana yang tidak selalu ada mana yang hakiki dan
mana yang tidak hakiki.
·
Mengabstraksikan,
yaitu menyisihkan, membuang, ciri-ciri yang tidak hakiki, menangkap cirri-ciri
yang hakiki. Pada contoh di atas ciri - ciri yang hakiki itu ialah: Makhluk
hidup yang berbudi.
b. Pembentukan Pendapat, yaitu meletakkan
hubungan antara dua buah pengertian atau lebih. Pendapat yang dinyatakan dalam
bahasa disebut kalimat, yang terdiri dari pokok kalimat atau subjek dan sebutan
atau predikat. Subjek adalah
pengertian yang diterangkan, sedangkan predikat adalah menerangkan. Pendapat dibedakan menjadi tiga
macam:
1. Pendapat Afirmatif (positif), yaitu
pendapat yang mengiyakan, secara tegas menyatakan keadaan sesuatu, misalnya si Ani itu rajin,
si Totok itu pandai, dsb.
2. Pendapat Negatif, yaitu pendapat
yang secara tegas menerangkan tidak adanya sesuatu sifat pada sesuatu hal,
misalnya si Ani tidak marah, si Totok tidak bodoh, dsb.
3. Pendapat Modalitas (kebarangkalian),
yaitu pendapat yang menerangkan kemungkinan-kemungkinan sesuatu sifat pada
suatu hal, misalnya hari ini mungkin hujan, si Ali mungkin tidak datang,
dsb.
c.
Pembentukan
Keputusan, yaitu menggabung-gabungkan pendapat tersebut. Keputusan adalah hasil
perbuatan akal untuk membentuk pendapat baru berdasarkan pendapat-pendapat yang
telah ada. Ada tiga macam keputusan, yaitu:
1. Keputusan induktif yaitu
keputusan yang diambil dari pendapat-pendapat khusus menuju ke satu pendapat
umum. Misalnya
:tembaga dipanaskan memuai, perak dipanaskan memuai , jadi semua logam
dipanaskan memuai.
2. Keputusan deduktif
ditarik dari hal yang umum ke hal yang khusus , jadi berlawanan dengan keputusan induktif. misalnya: semua logam
kalau dipanaskan memuai (umum), tembaga adalah logam. Jadi, kesimpulan tembaga
kalau dipanaskan memuai.
3. Keputusan analogis ialah
keputusan yang diperoleh dengan jalan membandingkan atau menyesuaikan dengan
pendapat-pendapat khusus yang telah ada. Misalnya: totok anak pandai, naik kelas (khusus).
totok anak pandai, naik kelas (khusus). Jadi kesimpulan si nunung anak yang
pandai itu, tentu naik kelas.
1. Pengertian
Berpikir
Pendapat para
ahli mengenai berpikir itu bermacam-macam. Misalnya ahli-ahli psikologi
asosiasi menganggap bahwa berpikir adalah kelangsungan tanggapan-tanggapan
dimana subjek yang berpikir pasif. Plato beranggapan bahwa berpikir itu adalah
berbicara dalam hati. Sehubungan dengan pendapat Plato ini adalah pendapat yang
mengatakan bahwa berpikir adalah aktivitas ideasional. Pada pendapat yang
terakhir itu dikemukakan dua kenyatan, yaitu:
a.
Bahwa
berpikir itu adalah aktivitas, jadi subjek yang berpikir aktif.
b.
Bahwa
aktifitas itu sifatnya ideasional, jadi bukan sensoris dan bukan motoris,
walaupun dapat disertai oleh kedua hal itu, berpikir itu menggunakan
abstraksi-abstraksi dan ideas.
Selanjutnya ada pendapat yang lebih menekankan kepada
tujuan berpikir itu, yaitu yang mengatakan bahwa berpikir adalah meletakkan
hubungan antara bagian-bagian pengetahuan kita. Bagian- bagian pengatahuan kita
yaitu segala sesuatu yang kita miliki, yang berupa pengertian-pengertian dan
dalam batas tertentu juga tanggapan-tanggapan.
Berpikir adalah proses yang dinamis yang dapat dilukiskan
menurut proses atau jalannya.[15]
2. Proses Berpikir Berdasarkan
Asimilasi dan Akomodasi Piaget
a.
Proses
Berpikir Berdasarkan asimilasi
Asimilasi
adalah suatu proses mental yang terjadi ketika seorang anak memasukkan pengetahuan
baru kedalam pengetahuan yang sudah ada.[16]
Selanjutnya menurut Suparni asimilasi merupakan proses kognitif yang dengannya
seseorang yang mengintegrasikan informasi presepsi,konsep.[17]
Proses Berpikir
asimilasi ini didasarkan atas kenyataan bahwa setiap manusia selalu
mengasimilasi informasi-informasi yang sampai padanya,dimana kemudian informasi
tersebut dikelompokkan kedalam istilah sebelumnya sudah mereka ketahui.dapat
disimpulkan bahwa asimilasi adalah proses yang mana individu
mengintegrasikan(berasimilasi) antara persepsi,konsep atau pengalaman baru
dalam skema(jamak) kognitifnya. Misalnya ; seorang siswa mempunyai skema
tentang perkalian sebagai penjumlahan bilangan sebanyak n kali .kemudian guru memberikan informasi baru mengenai
eksponensial atau perkalian bilangan yang sama sebanyak n kali. Dengan pemberian informasi tersebut ,siswa akan merasa
proses perkalian sebagai penjumlahan bilangan sebanyak n kali berbeda dengan perkalian dengan bilanga yang sama sebanyak n kali karena mempunyai kekususan yaitu
dalam penulisannya.
b.
Proses
Berpikir Berdasarkan Akomondasi Piaget
Tahap Akomodasi adalah suatu proses mental yang terjadi
ketika anak menyesuaikan diri dengan informasi baru.[18]
Selain itu akomodasi adalah proses restrukturisasi skemata yang sudah ada
sebagai akibat adanya informasi dan pengalaman baru yang tidak dapat secara
langsung diasimilasikan pada sekemata tersebut. Dapat disimpulkan bahwa
akomodasi adalah proses yang mana individu apabila informasi belum cocok dengan
struktur kognitif yang telah dimiliki individu tersebut, maka struktur kognitif
yang sudah ada direstrukturisasikan sehingga terjadi penyesuaian(akomodasi) dan
baru kemudian diperoleh pengetahuan baru.[19]
Pada tahap ini siswa dituntut untuk dapat menemukan
kata-kata kunci sesuai dengan topik atau tema pembelajaran. Pada tahap ini
melalui dialog, guru membimbing agar siswa dapat menyimpulkan apa yang mereka
temukan dan mereka pahami sekitar topik yang di permasalahkan.[20]
Piaget
menciptakan teori bahwa bahwa cara berpikir logis berkembang secara bertahap,
kira-kira pada usia dua tahun dan pada sekitar tujuh tahun. Menurut Piaget,
cara berpikir anak-anak sama sekali tidak seperti cara berpikir orang dewasa.
Pikiran anak-anak tampaknya diatur berlainan dengan orang yang lebih besar.
Anak-anak kelihatannya memecahkan persoalan pada tingkatan yang sama sekali
berbeda. Perbedaan anak-anak yang lebih kecil dan lebih besar tidak terlalu
berkaitan dengan persoalan bahwa anak yang lebih besar mempunyai pengetahuan
yang lebih banyak, melainkan karena pengetahuan mereka berbeda jenis, dengan
penemuan ini Piaget mulai mengkaji perkembangan stuktur intelektual.
Berikut tahapan-tahapan perkembangan
menurut Piaget:
1)
Tahap sensorimotor
Tahap ini yang berlangsung sejak kelahiran sampai sekitar usia 2 tahun
adalah tahapan piagetian pertama. Dalam tahap ini, bayi menyusun pemahaman
dunia dengan mengoordinasikan pengalaman indra (sensory) mereka seperti melihat
dan mendengar dengan gerakan motor (otot) mereka menggapai menyentuh dan
karenanya diistilahkan sebagai sensorimotor. Pada awal tahap ini bayi
melihatkan tak lebih dari pola reflektif untuk beradaptasi dengan dunia.
Menjelang akhir tahap ini ,bayi menunjukkan pola sensorimotor yang lebih
kompleks.
Menurut pieget, seperti inilah kehidupan mental dalam bayi yang baru saja
lahir. Jabang bayi tidak dapat membedakan antara dirinya dan dunianya dan tidak
punya pemahaman tentang kepermanenan objek.[21]
2) Tahap pra-operasional
Tahapan ini adalah tahapan piagetan kedua. Tahap ini berlangsung kurang
lebih mulai usia 2 tahun sampai 7 tahun. Ini adalah tahap pemikiran yang lebih
simbolis ketimbang pada tahap sensorimotor tetapi tidak melibatkan pemikiran
operasional. Namun tahap ini lebih bersifat egosentris dan intuitif ketimbang
logis. Pemikiran pra-operasional bisa dibagi lagi menjadi dua subtahap, yaitu :
a.
Subtahap
fungsi simbolis, terjadi kira-kira usia 2 sampai 4 tahun. Dalam subtahap
ini,anak kecil secara mental mulai bisa mempresentasikan objek yang tak hadir.
Ini memperluas dunia mental anak hingga mencakup dimensi-mensi baru. Penggunaan
bahasa yang mulai berkembang dan kemunculan sikap bermain adalah contoh lain
dari peningkatan pemikiran simbolis dalam subtahap ini. Anak kecil mulai
mencoret-coret gambar orang, rumah, mobil,awan, dan banyak benda lain dari
dunia ini. Mungkin karna anak kecil tidak begitu peduli pada realitas, gambar
mereka tampak khayal.
Meskipun anak kecil membuat kemajuan di subtahap ini, pemikiran pra-oprasional
masih mengandung dua keterbatasan yaitu egosentrisme yaitu ketidak mampuan
untuk membedakan antara perspektif milik sendiri dengan perspektif orang lain.
Contoh interaksi telfon antara merri yang berusia 4 tahun yang berada di rumah,
dengan ayah nya yang berada di kantor. Itu menunjukan pemikiran egosentris.
b.
Subtahap
pemikiran intuitif adalah subtahap kedua dalam pemikiran pra-oprasional, di
mulai sekitar usia 4 tahun dan berlangsung sampai usia 7 tahun. Pada subtahap
ini anak mulai menggunakan penalaran primitif dan ingin tahu semua jawaban dari
semua pertanyaan. Piaget menyebut tahap ini sebagai intuitif karna anak-anak
tampak nya merasa yakin terhadap pengetahuan dan pemahaman mereka, tetapi tidak
menyadari bagaimana mereka bisa mengetahui apa-apa yang mereka ketahui. Artinya
mereka mengatakan bahwa mereka tahu sesuatu tetapi mereka mengetahuinya tanpa
menggunakan pemikiran rasional.[22]
3) Tahap
operasional konkret
Dimulai dari sekitar umur 7 tahun sampai sekitar 11 tahun. Pemikiran
operasional konkret mencakup penggunaan operasi. Penalaran logika menggantikan
penalaran intuitif, tetapi hanya dalam situasi konkret. Kemampuan untuk
menggolong-golongkan sudah ada, tetapi belum bisa memecahkan problem-problem
abstrak. Operasi konkret adalah tindakan mental yang bisa dibalikkan yang
berkaitan dengan objek konkret nyata. Operasi konkret membuat anak bisa
mengoordinasikan beberapa karakteristik, jadi bukan hanya fokus pada satu
kualitas dari objek.
4) Tahap
operasional formal
Tahap ini,yang muncul pada usia 7 tahun sampai 15 tahun.
Pada tahap ini, individu mulai memikirkan pengalaman diluar pengalaman konkret,
dan memikirkannya secara lebih abstrak, idealis, dan logis. Kualitas abstrak
dari pemikiran operasional formal tampak jelas dalam pemecahan problem verbal.
Pemikiran operasional konkret perlu melihat elemen konkret A, B, dan C untuk
menarik kesimpulan logis bahwa jika A = B dan B = C , maka A = C. Sebaliknya,
pemikir operasional formal dapat memecahkan persoalan ini walau problem ini hanya
disajikan secara verbal.
Selain memiliki kemampuan abstraksi, pemikir operasional
formal juga punya kemampuan untuk melakukan idealisasi dan membayangkan
kemungkinan-kemungkinan. Pada tahap ini remaja mulai melakukan pemikiran
spekulasi tentang kualitas ideal yang mereka inginkan dalam diri mereka dan
diri orang lain. Pemikiran idealis ini bisa menjadi fantasi atau khayalan.
Banyak remaja tak sabar terhadap cita-cita mereka sendiri. Mereka juga tidak
sabar menghadapi problem untuk mewujudkan cita-citanya itu. Saat remaja berpikir
secara lebih abstrak dan idealis, pada saat yang sama mereka juga mulai berpikir
secara lebih logis. Sebagai pemikir operasional formal, mereka juga mulai mirip
ilmuan. Mereka menyusun rencana untuk memecahkan masalah dan secara sistematis
menguji solusinya. Istilah piaget penalaran hipotesis deduktif adalah konsep
operasional formal piaget yang menyatakan bahwa remaja dapat mengembangkan
hipotesis untuk memecahkan problem dan menarik(deduce) kesimpulan secara
sistematis.
3. Karakteristik Proses Berpikir
Berdasarkan Kerangka Asimilasi dan
Akomodasi
·
Karakteristik
Proses Berpikir Berdasarkan Kerangka Asimilasi
Karakter siswa
mengenai cara anak menghadapi lingkungannya akan berubah seiring
pertumbuhannya. Agar terjadi interaksi antar individu dengan lingkungan maka
skema yang ada harus berubah. Proses merespon lingkungan yang sesuai dengan
stuktur kognitif anak di sebut asimilasi. Asimilasi adalah proses
pengintregrasian secara langsung stimulus baru kedalam skema yang telah
terbentuk proses penggunaan struktur
atau kemampuan individu untuk mengatasi masalah dalam lingkungannya.
·
Karakteristik
Proses Berpikir Berdasarkan Kerangka Akomodasi
Jika asimilasi
adalah satu-satunya proses kognitif, maka tidak ada perkembangan intelektual
anak tersebut karena hanya akan mengasimilasikan pengalaman dalam struktur
kognitif.akan tetapi pengalaman baru tidak cocok dengan skema yang ada,
sehingga individu akan mengadakan akomodasi. Tahap akomodasi bisa juga
dikatakan sebagai tahap pemantapan hasil belajar, sebab pada tahap ini siswa
diarahkan untuk mampu mengungkap kembali pembahasan yang dianggap penting dalam
proses pembelajaran.[23]
C. ANAK
BERKEBUTUHAN KHUSUS
c. Pengertian
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)
Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata
abnormal diartikan tidak sesuai dengan keadaan yang biasa, mempunyai kelainan
dan tidak normal.[24]
Menurut Heward, Anak Berkebutuhan khusus adalah
anak dengan kepemilikan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak lain pada
umumnya tanpa selalu menunjukkan pada ketidak mampuan mental, emosi, atau
fisik.[25]
Anak
Berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki kelainan penyimpangan dari
kondisi rata-rata anak normal umumnya dalam hal fisik, mental maupun
karakteristik perilaku sosialnya.[26]
Dapat
disimpulkan bahwa anak berkebutuhan khusus adalah anak yang mempunyai
karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya. Karena
karakteristik dan hambatan yang dimiliki ABK memerlukan bentuk pelayanan
pendidikan khusus yang disesuaikan dengan kemampuan dan potensi mereka.
d. Klasifikasi
Anak Berkebutuhan Khusus
1)
Tunanetra
2)
Tunagrahita
3)
Tunalaras
4)
Tunarungu
wicara
5)
Tunadaksa
6)
Tunaganda
7)
Kesulitan
Belajar
8)
Anak
berbakat
9)
Anak
Autistik
10) ADHD

D. TUNA
GRAHITA
1. Pengertian
Tuna Grahita
M. Amin berpendapat bahwa anak tunagrahita adalah mereka
yang jelas-jelas kecerdasannya dibawah rata-rata.[27]
Disamping itu mereka mengalami keterbelakangan dalam penyesuaian diri dengan
lingkungannya,kurang cakap dalam memikirkan hal yang abstrak dan
berbelit-belit. Sedangkan pengertian tentang tunagrahita seperti yang
dikemukakan oleh A. Supraktiknya tunagrahita adalah fungsi intelektual umum
dibawah rata-rata disertai dengan ketidak mampuan beradaptasi terhadap tuntutan
lingkungan yang muncul selama pertumbuhan.[28]
Dari pengukuran intelegensi ,mereka yang ber-IQ kurang dari 70 dan tidak memiliki
ketrampilan sosial atau menentukkan perilaku yang tidak sesuai dengan usianya.
Berdasarkan kedua definisi dtersebut jelas bahwa anak tunagrahita adalah
seorang yang mengalami kelainan pada intelektual, akan tetapi apabila mendapat
pendampingan dari orang tua sejak dini mereka bisa dididik dan dilatih
ketrampilan sederhana sehingga mereka dapat mengoptimalkan kemampuan dan
potensi dirinya semaksimal mungkin.[29]
2. Karakteristik
Tunagrahita
Karakteristik Tuna Grahita pada umumnya adalah :
Memahami anak tunagrahita secara umum adalah hal yang
mudah sebab tinggal membaca buku tentang anak tunagrahita, yang dimaksud
penulis adalah karakteristik secara komprehesif atau menyeluruh mulai dari
keadaan fisik, afektif, motorik dan kognitifnya dengan ditail pada setiap
individunya. Ini tidak bisa dilakukan dengan membaca buku tentang anak
tunagrahita saja tetapi kita harus melakukan indentifikasi dan melakukan
asesmen secara lengkap dan detail.
Hasil asesmen inilah yang menjadi titik tolak dalam
pengembangan program assesmen dan pengembangan kurikulum serta program
pembelajaran individual bagi anak tunagrahita. Karakteristik anak Tunagrahita
pada umumnya yaitu:
a. Lamban dalam mempelajari hal-hal baru
b.Kesulitan dalam menggeneralisasi dan mempelajari hal-hal
yang baru
c. Kemampuan bicaranya sangat kurang bagi anak tunagrahita
berat
d.
Cacat
fisik dan perkembangan gerak
e. Kurang dalam kemampuan menolong diri sendiri
f. Tingkah laku dan interaksi yang tidak lazim
g.Tingkah laku yang kurang wajar yang terus menerus.[30]
3. Penyebab
Tunagrahita
Tunagrahita dapat
disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut :
a.
Generik
(kerusakan atau kelainan biokimiawi,
abnormalitas kro-mosomal)
b.
Sebelum
lahir (pre-natal)
·
Infeksi Rubella (cacar)
·
Faktor
rhesus (Rh)
c.
Kelahiran
(pre-natal) yang disebabkan oleh kejadian
yang terjadi pada saat kelahiran
d.
Setelah
lahir (post-natal) akibat infeksi
misalnya meningitis (peradangan pada
selaput otak) dan problema nutrisi yaitu kekurangan gizi seperti kekurangan
protein.
e.
Faktor
sosio-kultural atau sosial budaya
lingkungan
f.
Gangguan
metabolism atau nutrisi :
·
Phenylketonuria
·
Gargoylisme
·
Cretinisme
4. Klasifikasi
anak tunagrahita
Mengenal perilaku abnormal, menggolongkan tunagrahita
berdasarkan hasil pengukuran intelegensisebagai berikut :
a.
Retardasi
mental ringan
Penderita ini
memiliki IQ antara 52-69 dan meliputi bagian terbesar populasi retardasi
mental. Sesudah IQ mereka setara dengan 8-11 tahun. Penyesuaian mereka hampir
setara dengan remaja normal namun kalah dalam imajinasi, kreativitas kan
kemampuan membuat penilaian-penilaian mereka ini educable atau mampu di didik.
b.
Retardasi
mental sedang (IQ 36-51)
Sesudah dewasa
IQ mereka setara dengan anak usia 4-7 tahun. Secara fisik mereka tampak wagu
dan biasanya memiliki sejumlah cacat fisik. Koordinasi motoriknya buruk, sehingga
gerakan tangan kaki maupun tubuhnya tidak luwes. Mereka lamban belajar dan
mereka trainable atau dapat dilatih.
c.
Retardasi
mental Berat ( IQ 21-35)
Mereka sering
disebut dependent retarded atau penderita lemah mental yang tergantung. Mereka dapat
dilatih untuk menolong diri sendiri secara terbatas.
d.
Retardasi
mental Sangat Berat (20 Kebawah)
Mereka yang
disebut golongan life support retarded atau golongan lemah mental yang
perlu disokong secara penuh agar dapat bertahan hidup.
5. Kemampuan
Belajar Matematika Tunagrahita
Kemampuan
siswa tunagrahita dari segi kognitif pada umumnya terhambat
akibat lemahnya intelektual yang dimiliki. Tahapan proses kognitif menurut Mussen, Conger dan Ragan dalam
Mohammad Effendi melalui; (1) persepsi, (2) ingatan, (3) mengembangan ide, (4) penilaian, (5) penalaran.[31]
Sementara itu perkembangan kognitif menurut Piaget dalam melewati periode perkembangan (1)
periode sensomotor (0-2 tahun), (2) periode
praoperasional (2-7 tahun), (3) periode operasional
konkret (7-11/12 tahun), (4) periode operasional formal (11/12- 13/14 tahun).
Menurut
Kirk dalam Mohammad Effendi , perkembangan kognitif
siswa tunagrahita berhenti pada tahap operasional konkret.[32] Oleh karena itu, meskipun usia
kronologis siswa tunagrahita sama dengan
siswa normal, tetapi prestasi yang diraih berbeda dengan siswa normal. Meskipun demikian, potensi yang
dimiliki siswa tunagrahita masih
dapat dikembangkan secara akademik melalui pendidikan khusus.
Menurut
Mohammad Effendi dampak keterlambatan perkembangan
kognitifnya antara lain: cenderung berpikir konkret dan sukar berpikir, mengalami kesulitan dalam
berkonsentrasi, prestasi tertinggi bidang baca
dan tulis sedangkan hitung tidak lebih dari siswa normal setingkat kelas 3-4 SD.[33]
Kemampuan berhitung siswa tunagrahita melalui pendidikan khusus diajarkan dalam mata pelajaran
matematika.
Matematika
merupakan mata pelajaran yang perlu diberikan bagi siswa tunagrahita ringan, hal ini karena
matematika secara sadar ataupun tidak selalu
digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh dalam menggunakan uang, kasus tersebut
menerapkan konsep dan berfikir matematika
yang berdasar dengan kemampuan mengenal kuantitas bilangan menurut nilai dan tempatnya.
Berdasarkan
uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kemampuan belajar matamatika secara kognitif siswa
tunagrahita rendah. Meskipun demikian, potensi kemampuan berhitung
yang dimiliki dapat dikembangkan melalui
pendidikan khusus dengan memperhatikan tahapan perkembangannya yaitu operasional konkret.
6. Prinsip
Dasar Pembelajaran Matematika Siswa Tunagrahita
Pembelajaran
matematika bagi siswa tunagrahita di dasarkan atas karakteristik kemampuan siswa. Dasar-dasar
pembelajaran matematika menurut
Wehman & Laughlin dalam Mumpuniarti dapat penulis kemukakan:
i.
Keterampilan menghitung yang merupakan
hubungan dengan kuantitas.Siswa tunagrahita perlu memiliki keterampilan
menghitung dalam pemecahan
masalah dan aplikasi bidang vokasional. Dengan demikian, pembelajaran menghitung hendaknya
diberikan secara fungsional yang dikaitkan
dengan kebiasaan sehari-hari.
ii.
Pembelajaran bilangan yang berwujud
belajar memberi label yang menandakan
suatu elemen-elemen seperti angka cardinal, ordinal dan angka rasional.
iii.
Pengangkaan yang merupakan proses
mengekspresikan bilangan yang terkait
dengan simbol atau angka. Pengangkaan termasuk kata bilangan, angka romawi, angka hindu arab, pecahan
decimal dan nilai tempat.
iv.
Hubungan yang melibatkan korespondensi
dua atau lebih tentang suatu susunan.
v.
Pengukuran yang termasuk penggunaan
bilangan untuk mendeskripsikan objek
dan unit-unit yang berbeda seperti tentang waktu dan uang.
vi.
Pengoprasian bilangan yang berkaitan
dengan manipulasi bilangan.
vii.
Pengoprasian angka rasional.
viii.
Pemecahan masalah yang melibatkan
penggunaan hitungan.[34]
Pendekatan
pembelajaran matemataika siswa tunagrahita tentunya perlu
memperhatikan kondisi peserta didik atas dasar kemampuan kognitif yang lemah. Hal ini selaras dengan teori Piaget bahwa pembelajaran yang menyesuaikan dengan perkembangan siswa
pada tahapan konkret, semi konkret,
semi abstrak dan abstrak. Mumpuniarti menyatakan prinsip
pembelajaran yang berimplikasi pada pembelajaran pada siswa tunagrahita dapat penulis kemukakan di
antaranya:
1. Suatu
program hendaknya disusun dari tahapan yang sederhana menuju yang lebih kompleks.
2. Belajar
hendaknya dilakukan secara aktif, sehingga dapat berjalan secaraefektif dan
efisien.
3. Berikan
penguat secara langsung ketika siswa menunjukkan respon yang diharapkan.
4. Program
hendaknya menyiapkan pengajaran yang bersifat individual,sehingga siswa mampu
belajar sesuai dengan kemampuannya.
5. Evaluasi
yang konsisten dilakukan guna memperoleh refleksi setiap materi pengajaran sehingga dapat memberikan
catatan agar diperoleh cara yang efektif
dan efisien.
6. Materi
yang ditetapkan hendaknya mendukung dalam pencapaian tujuan khusus yang telah ditetapkan.
7. Materi
yang disampaikan dalam batas-batas kemampuan dan bermanfaat bagi siswa.
8. Materi
disajikan dari yang mudah ke yang sukar, dari yang sederhana ke yang kompleks dan dari yang konkret ke
yang abstrak.[35]
Atas
dasar prinsip pembelajaran di atas, pembelajaran matematika bagi siswa tunagrahita hendaknya lebih menggunakan benda-benda yang merangsang pemikiran
pembelajaran matematika operasi bilangan penjumlahan , siswa seperti mainan
seperti bola, balon, dan sebagainya. Pemilihan mainan dengan mainan yang mereka sukai, untuk
menyelesaikan soal operasi bilangan penjumlahan akan lebih mudah membuat mereka
memahaminya, sehingga siswa tunagrahita dapat menjembatani
proses KBM sehingga mampu memotivasi siswa
untuk belajar secara aktif. Belajar yang tepat bagi siswa tunagrahita dilakukan dengan
cara yang menyenangkan, sehingga siswa marasa bebas, asyik tanpa ada beban dalam menerima suatu konsep
materi yang disampaikan.
E. Hakikat
Operasi hitung Penjumlahan dan Menyelesaikan soal dalam operasi hitung untuk
Siswa Tuna Grahita
1.
Hakikat Operasi hitung Penjumlahan
bilangan bulat negatif, ciri-cirinya didepan bilangan itu
terdapat tanda (-) , Misalnya ; (-1) dibaca negatif satu). Bilangan bulat Nol,
hanya ada satu bilangan bilangan bulat Nol,Yaitu 0 ( di baca Nol, bukan
kosong).
Bilangan bulat positif
ciri-cirinya didepan bilangan tersebut terdapat tanda (+), Misalnya; (+2)
dibaca positif dua. Tetapikemudian tanda (+) itu tidak dituliskan , ini berarti
bahwa bilangan positif tidak menggunakan tanda (+), tetapi cukup ditulis
bilangannya saja, maka bilangan bulat selain Nol yang tidak terdapat tanda (-)
ataupun (+) itu diartikan bilangan bulat positif . Misalnya; 4 (dibaca
empat/diartikan positif empat).
Anak Tuna Grahita kebanyakan sulit memahami pelajaran
matematika mengenai Operasi hitung penjumlahan.
![]() |
Hakikat Operasi hitung penjumlahan;
a.
Positif
ditambah positif
Hasilnya pasti bilangan positif,
Contoh : 16+5=21
b.
Positif/negatif
ditambah Nol
Hasilnya Bilangan bulat asal
Contoh : 16+0=16
c.
Positif
ditambah negatif
Hasilnya positif atau negatif mengikuti bilangan bulat yang lebih besar.
i.
Bila
yang lebih besar merupakan bilangan positif, maka jawabannya positif.
ii.
Bila
yang lebih besar adalah bilangan Negatif, maka jawaban bilangan bulat negatif.
Cara mengerjakannya adalahabaikan dulu tanda positif/negatif, lalu bilangan
yang lebih besar dikurangi bilangan yang lebih kecil, sesudah itu tentukan
negatif atau positifnya.
Contoh ;
ü
16+(-5)=11
16-5 =11
16 lebih besar dan positif maka
jawabannya 11 juga positif
ü
5+(-16)=-11
16-5 = 11
-16 lebih besar dan negatif , maka jawabannya -11 juga
Negatif
d.
Negatif
ditambah negatif
Hasilnya bilangan bulat negatif, sama saja ketika mengerjakan positif
dengan positif, hanya saja disini bilangan negatif.
Contoh ;
(-16)+(-5) > positif berjajar dengan negatif diartikan negatif.
(-16)-5 = -21
2. Menyelesaikan
soal-soal materi operasi hitung penjumlahan untuk anak Tuna Grahita.
a)
Menyebutkan
atau menunjukkan lambang bilangan;
2 5 3 8 1
9 7 6 10 4
b)
Menulis
lambang bilangan
·
Tulislah
lambang bilangan 1 ?
·
Tulislah
lambang bilangan 5 ?
·
Tulislah
lambang bilangan 3 ?
·
Tulislah
lambang bilangan 2 ?
c)
Mengurutkan
Isilah titik
dibawah ini dengan lambang bilangan yang tepat :
§
1,
....., 3....... 5 ......7 ......9 ......
§
1........3,
4,.....6,....8,....,10
d)
Nilai
tempat
Nilai tempat
satuan, puluhan, ratusan, dan ribuan:
Satuan :
e.
1 = satuan
f.
2 = satuan
Puluhan :
g.
11 = Puluhan
h.
14 =
Puluhan
i.
19 = puluhan
ratusan:
1.
125 = ratusan
2.
886 = Ratusan
3.
905 = Ratusan
Ribuan :
1.
7235 = ribuan
2.
1256 = ribuan
·
1
puluhan + 0 satuan =
·
1
ratusan + 0 Puluhan + 3 Satuan =
·
2
Ribuan + 0 Ratusan + 0 Puluhan + 9 Satuan =
e)
Operasi
hitung
Jumlahkan
bilangan-bilangan dibawah ini :
2.
1+1 =
3.
2+3 =
4.
3+4 =
5.


6.


Penafsirannya
:
Anak sudah cukup
mampu menyelesaikan soal operasi hitung penjumlahan dibawah 10, tetapi anak
masih kesulitan dalam penjumlahan dengan teknik penjumlahan ke samping dan
penjumlahan bersusun. Jadi kebutuhan belajarnya adalah membutuhkan materi dasar
penjumlahan dengan teknik penjumlahan ke samping dan penjumlahan bersusun
F.
Kerangka Berfikir
Siswa
tunagrahita mengalami hambatan dalam
kemampuan intelektualnya.
Hal ini mengakibatkan ketidak mampuannya
dalam berpikir abstrak.
Meskipun demikian, siswa tunagrahita masih dapat dikembangkan kemampuan akademiknya di sekolah khusus
atau SLB . Salah satu kemampuan akademik
yang terdapat dalam materi pembelajaran yang diberikan pada siswa tunagrahita adalah kemampuan dalam
operasi hitung penjumlahan hingga seratus.
Teknik yang dilakukan dalam operasi hitung penjumlahan adalah penjumlahan ke samping dan penjumlahan
bersusun ke bawah.
Kegiatan
menjumlah hingga nilai seratus sulit dipahami oleh siswa tunagrahita yang memiliki daya abstraksi
rendah. Kondisi ini mengakibatkan
siswa mengalami kesulitan dalam melakukan operasi hitung penjumlahan Dengan demikian dibutuhkan adanya suatu pembelajaran untuk mengulang setiap materi guna
mengatasi kesulitan siswa tunagrahita dalam operasi hitung penjumlahan. Pada dasarnya tahapan
berpikir siswa tunagrahita terdiri dari tahap
konkret menuju tahap abstrak.
Berikut
ini dapat digambarkan kerangka pemikiran yang dijadikan dasar pemikiran dalam penelitian ini. Kerangka
tersebut merupakan dasar pemikiran dalam
melakukan analisis pada penelitian ini